KARAKTERISTIK
ANAK USIA DINI
Anak
usia dini dalam beragam usia merupakan pribadi unik yang mampu
menarik perhatian orang dewasa. Bahkan tingkah polah mereka mampu
membuat para orang tua terhibur karenanya. Dalam kehidupan
sehari-hari berbagai tingkat usia anak dapat kita amati. Ada yang
baru lahir, ada yang batita (Toodler), ada balita, sampai dengan yang
berusia sekolah dasar.
Lalu
apa sih anak usia dini itu? Dan bagaimana pula karakteristiknya?
Anak
usia dini menurut NAEYC (National Association for The Education of
Young Children) adalah anak yang berada pada rentang usia 0 – 8
tahun, yang tercakup dalam program pendidikan di Taman Penitipan
Anak, penitipan anak pada keluarga, pendidikan prasekolah baik itu
swasta ataupun negeri, TK, dan SD.
Untuk
karakteristik anak usia dini bisa dilihat d bawah ini :
1.
Memiliki rasa ingin tahu yang besar.
Anak
usia dini sangat ingin tahu tentang dunia sekitarnya. Pada masa bayi
rasa inign tahu ini ditunjukkan dengan meraih benda yang ada dalam
jangkauannya kemudian memasukkannya ke mulutnya. Pada usia 3-4 tahun
anak sering membongkar pasang segala sesuatu untuk memenuhi rasa
ingin tahunya. Anak juga mula gemar bertanya meski dalam bahasa yang
masih sangat sederhana.
2.
Merupakan pribadi yang unik.
Meskipun
banyak kesamaan dalam pola umum perkembangan anak usia dini, setiap
anak memiliki kekhasan tersendiri dalam hal bakat, minat, gaya
belajar, dan sebagainya. Keunikan ini berasal dari faktor genetis dan
juga lingkungan. Untuk itu pendidik perlu menerapkan pendekatan
individual dalam menangani anak usia dini.
3.
Suka berfantasi dan berimajinasi.
Fantasi
adalah kemampuan membentuk tanggapan baru dengan pertolongan
tanggapan yang sudah ada. Imajinasi adalah kemampuan anak untuk
menciptakan obyek atau kejadian tanpa didukung data yang nyata (Siti
Aisyah, 2008).
Anak
usia dini sangat suka membayangkan dan mengembangkan berbagai hal
jauh melampaui kondisi nyata. Bahkan terkadang mereka dapat
menciptakan adanya teman imajiner. Teman imajiner itu bisa berupa
orang, benda, atau pun hewan.
4.
Masa paling potensial untuk belajar.
Masa
itu sering juga disebut sebagai “golden age” atau usia emas.
Karena pada rentang usia itu anak mengalami pertumbuhan dan
perkembangan yang sangat pesat di berbagai aspek. Pendidik perlu
memberikan berbagai stimulasi yang tepat agar masa peka ini tidak
terlewatkan begitu saja. Tetapi mengisinya dengan hal-hal yang dapat
mengoptimalkan tumbuh kembang anak.
5.
Menunjukkan sikap egosentris.
Pada
usia ini anak memandang segala sesuatu dari sudut pandangnya sendiri.
Anak cenderung mengabaikan sudut pandang orang lain. Hal itu terlhat
dari perilaku anak yang masih suka berebut mainan, menangis atau
merengek sampai keinginannya terpenuhi.
6.
Memiliki rentang daya konsentrasi yang pendek.
Anak
usia dini memiliki rentang perhatian yang sangat pendek. Pehatian
anak akan mudah teralih pada hal lain terutama yang menarik
perhatiannya. Sebagai pendidik dalam menyampaikan pembelajaran
hendaknya memperhatikan hal ini.
7.
Sebagai bagian dari makhluk sosial.
Anak
usia dini mulai suka bergaul dan bermain dengan teman sebayanya. Ia
mulai belajar berbagi, mau menunggu giliran, dan mengalah terhadap
temannya. Melalui interaksi sosial ini anak membentuk konsep dirinya.
Ia mulai belajar bagaimana caranya agar ia bisa diterima lingkungan
sekitarnya. Dalam hal ini anak mulai belajr untuk berperilaku sesuai
tuntutan dari lingkungan sosialnya karena ia mulai merasa membutuhkan
orang lain dalam kehidupannya.
Selain
karakteristik yang unik tersebut perlu ada perhatian pada titik
kritis perkembangan yang perlu diperhatikan pada anak usia dini.
Titik kritis tersebut meliputi :
1.
Membutuhkan rasa aman, istirahat dan makanan yang baik.
2.
Datang ke dunia yang diprogram untuk meniru.
3.
Membutuhkan latihan dan rutinitas.
4.
Memiliki kebutuhan untuk banyak bertanya dan memperoleh jawaban.
5.
Cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa.
6.
Membutuhkan pengalaman langsung.
7.
Trial and error menjadi hal pokok dalam belajar.
8.
Bermain merupakan dunia masa kanak-kanak.
Sebagai
pendidik usia dini dan juga sebagai orang tua kita perlu mengetahui
karakteristik anak sehingga kita bisa mendukung perkembangan mereka
secara optimal.
Sumber
bacaan :
Perkembangan
dan Konsep Dasar Pengembangan Anak Usia Dini (Siti Aisyah, dkk)
Pola
asuh anak
dalam keluarga sangat berpengaruh dalam segala aspek perkembangan
anak termasuk dalam beberapa kecerdasan anak, beberapa acuan
sederhana kecakapan intrapersonal yang dapat digunakan untuk mengukur
kesiapan anak memasuki sekolah dasar diantaranya:
Anak
sudah mampu mengurus diri sendiri, antara lain dalam hal buang air
kecil dan buang air besar.
Anak
sudah mampu melaksanakan aktivitas-aktivitas tertentu dengan
inisiatifnya sendiri, misalnya bangun, mandi, dan makan tanpa harus
disuruh-suruh atau di kejar-kejar untuk melaksanakan urutan
tugas-tugas tersebut agar tidak terlambat sekolah.
Anak
sudah memiliki inisiatif sendiri untuk belajar dan segera mengerjakan
dan menyelesaikan tugas-tugas tersebut.
Anak
sudah memiliki kesadaran bahwa untuk dapat memahami dan mendalami
suatu ilmu atau kecakapan, harus belajar dengan benar.
Anak
sudah mampu mengelola dan mengendalikan serta mengelola emosinya
secara tepat guna (appropriate) dan konstruktif, bukan secara
destruktif (mengamuk, membanting, memukul, berguling-guling dan
sebagainya).
PENGARUH POLA ASUH ORANGTUA TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK
A.
Tipe-Tipe Pola Asuh Orang Tua Kepada Anak :
1.
Pola Asuh Permisif
Pola
asuh permisif adalah jenis pola mengasuh anak yang cuek terhadap
anak. Jadi apa pun yang mau dilakukan anak diperbolehkan seperti
tidak sekolah, bandel, melakukan banyak kegiatan maksiat, pergaulan
bebas negatif, matrialistis, dan sebagainya.
Biasanya
pola pengasuhan anak oleh orangtua semacam ini diakibatkan oleh
orangtua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, kesibukan atau urusan
lain yang akhirnya lupa untuk mendidik dan mengasuh anak dengan baik.
Dengan begitu anak hanya diberi materi atau harta saja dan terserah
anak itu mau tumbuh dan berkembang menjadi apa.
Anak
yang diasuh orangtuanya dengan metode semacam ini nantinya bisa
berkembang menjadi anak yang kurang perhatian, merasa tidak berarti,
rendah diri, nakal, memiliki kemampuan sosialisasi yang buruk,
kontrol diri buruk, salah bergaul, kurang menghargai orang lain, dan
lain sebagainya baik ketika kecil maupun sudah dewasa.
2.
Pola Asuh Otoriter
Pola
asuh otoriter adalah pola pengasuhan anak yang bersifat pemaksaan,
keras dan kaku di mana orangtua akan membuat berbagai aturan yang
saklek harus dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan sang
anak. Orang tua akan emosi dan marah jika anak melakukan hal yang
tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tuanya.
Hukuman
mental dan fisik akan sering diterima oleh anak-anak dengan alasan
agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta menghormati orang-tua
yang telah membesarkannya.
Anaka
yang besar dengan teknik asuhan anak seperti ini biasanya tidak
bahagia, paranoid / selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan
tertekan, senang berada di luar rumah, benci orangtua, dan lain-lain.
Namun di balik itu biasanya anak hasil didikan ortu otoriter lebih
bisa mandiri, bisa menjadi orang sesuai keinginan orang tua, lebih
disiplin dan lebih bertanggungjawab dalam menjalani hidup.
3.
Pola Asuh Otoritatif
Pola
asuh otoritatif adalah pola asuh orangtua pada anak yang memberi
kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi berbagai hal
sesuai dengan kemampuan anak dengan sensor batasan dan pengawasan
yang baik dari orangtua. Pola asuh ini adalah pola asuh yang cocok
dan baik untuk diterapkan para orangtua kepada anak-anaknya.
Anak
yang diasuh dengan tehnik asuhan otoritatip akan hidup ceria,
menyenangkan, kreatif, cerdas, percaya diri, terbuka pada orangtua,
menghargai dan menghormati orangtua, tidak mudah stres dan depresi,
berprestasi baik, disukai lingkungan dan masyarakat dan lain-lain.
4.
Pola asuh Penelantar
Orang
tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat
minim pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk
keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga kadangkala biaya
pun dihemat-hemat untuk anak mereka. Termasuk dalam tipe ini adalah
perilaku penelantar secara fisik dan psikis pada ibu yang depresi.
Ibu yang depresi pada umumnya tidak mampu memberikan perhatian fisik
maupun psikis pada anak-anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar